Saturday 30 May 2015

Penjumlahan (+) Tanpa Sama Dengan (=)

Inikah lelah? Saat detik, jam, hari, bahkan tahun hanyalah sebuah hitungan penjumlahan (+) yang tanpa hasil.

Tanda tanya (?) setelah kata “lelah” bukan berarti bertanya. Tolong yakinkan, tahun mana yang harus aku berhentikan agar semua penjumlahan bilangan waktu yang aku hitung memperoleh hasil yang jelas. Aku akan tahu apakah hasilnya negatif, positif, pecahan, atau desimal. Sepertinya aku lelah menghitung waktu yang tanpa ujung ini. Aku lelah menghapus sama dengan (=), ku kira tanda tambah (+) berhenti di hari kemarin, hari ini, seterusnya dan seterusnya. Ku kira waktu tunggu ku selayaknya pasien yang sedang menunggu giliran pemeriksaan dokter. Hanya membutuhkan beberapa menit, menunggu antrian sebentar. Ternyata hingga bertahun-tahun ini, aku masih menunggu. Aku bukan lagi pasien sakit yang sedang menunggu antrian agar sembuh. Aku hanya berpura-pura sakit, namun akhirnya sakit akibat terlalu lama menunggu.

Aku lelah bermain petak umpet. Aku bukan pencari yang handal untuk pesembunyi ulung sepertimu. Kau pintar sekali mengatur dan menyimpan ruang persembunyian dengan rapi.  Sangat sulit mencari persembunyianmu di tengah keramaian manusia, kebisingan kota, kesunyian desa, bahkan bisa saja kau bersembunyi di tempat yang sebenarnya aku kenal tapi menjadi asing untuk ku. Apakah aku terlalu jauh menjamah ruang?

Dan lagi, tanda tanya (?) setelah kata “ruang” bukan berarti bertanya. Tolong beritahu, ruang mana yang seharusnya menjadi tempat persembunyianmu. Biar ku jamah, biar ku cari dengan rapi dan teliti.

Sudah berkali-kali ku buat denah untuk mencari, sendiri. Dan berkali-kali pula ku ganti kursi yang usang untuk menunggu, sendiri. Sudahkah lelah untuk bersembunyi?

Sama seperti yang ku katakan sebelumnya, tanda tanya selelah kata “bersembunyi” bukan berarti bertanya. Tolong berhenti sembunyi, aku lelah menjumlah (+), aku merindukan sama dengan (=).

(+): menunggu
(=): titik temu


*yang mengerti yang ada di dalamnya...

Friday 10 April 2015

Perpisahan



“bukan perpisahan yang menyakitkan yang aku harapkan, tapi kebaikan buat kita”

Perpisahan mana yang tidak menyakitkan? Bukankah perpisahan selalu menyakitkan ya? Sekalipun  perpisahan hanya terjadi karena beda tempat tinggal, perpisahan karena pindah sekolah, perpisahan karena pergi jauh walaupun cuma sesaat pun semuanya sama saja kan? Menyakitkan!

Manusia mana yang tidak meneteskan air mata saat perpisahan?
bisa saja orang yang terlihat tegar berpura-pura menyembunyikan tangisannya, padahal ia sendiri meneteskan air mata dalam hati. Bukan lagi mata bengap yang ia dapatkan, tapi sesak di hati yang lebih menyakitkan. Ya, bengap hatinya.

Kebaikan? Mengapa kebaikan selalu diletakkan di akhir? Saat perpisahan?

Bukankah kebaikan seharusnya selalu ada di setiap awal, proses, serta akhir?
kasihan sekali ya, “kebaikan” selalu mendapat giliran di akhir proses.

Mungkin saat ini kebaikan cuma jadi alasan untuk mengakhiri. :)

Persimpangan

Jalan memang tak ada yang sempurna, terkadang terjal dan curam, berkelok, bahkan ada yang dihiasi batu yang tajam. Tak mungkin selalu lurus mulus beraspal. Untuk mencapai suatu tujuan yang kita inginkan, tak jarang pula dihadapkan pada sebuah persimpangan. Kita dituntut untuk memilih satu jalan di antara persimpangan tersebut. Selain itu untuk fokus terhadap tujuan, kita harus punya denah agar tak tersesat.

Sayangnya dalam perjalanan kita, aku tak punya denah. Dan saat aku telah sampai pada suatu persimpangan itu, tentu sa
ja aku kebingungan memilih arah.