Di pagi yang ke sekian kalinya, aku melihat langkah seorang pemuda menapaki jalan berbatu. Sepasang sandal jepit berwarna biru menghiasi langkahnya yang pasti. Pandangannya menatap fokus ke arah tujuannya. Di balik jendela ruang tamu ini, dia tak akan tahu kalau sebenarnya aku selalu memperhatikan langkahnya yang hendak menuju surau untuk melaksanakan shalat shubuh berjamaah.
“Sari,
selepas shalat shubuh segeralah pergi ke pasar.” Mamak mengagetkan ku dari
belakang. Sepertinya aku ketahuan sedang mengintip seseorang dari balik
jendela.
“I’ya
Mak.” Aku menjawab singkat. Kegugupan pasti terlihat dari raut wajah ku.
“Tadi
malam Mamak mendapat kabar kalau Mamas mu Wicak akan datang hari ini.”
Untungnya Mamak tak membahas perihal siapa yang sedang aku perhatikan di luar
sana.
“Mas
Wicak? Tumben sekali dia datang di awal ramadhan seperti ini.” Aku senang
sekaligus kaget mendengar kabar kalau kakak ku akan datang secepat ini. Anak-anaknya
pasti sudah tumbuh besar. Aku sudah membayangkan bagaimana ramai nya rumah ini
kalau ketiga anak kembarnya berlari-larian, bertengkar, dan menangis. Ah, aku
rindu sekali dengan Mas Wicak. Sudah setahun aku tidak bertemu dengannya. Aku
yakin lemak di perut dan lengannya sudah menebal seperti om-om. Mbak Kinan, istrinya
juga pasti semakin cantik.
“Tetapi
dia tidak datang sendiri.” Mamak memalingkan tatapannya ke arah jendela. Air
mukanya tak dapat aku baca.
“Bukannya
Mas Wicak tak pernah datang sendiri?” Aku mengernyitkan dahi. “Dia datang
bersama anak dan istrinya kan?”
“Tidak,
dia datang bersama pemuda dari sana.” Mamak tak berkedip dan tangannya
mengepal. Ini sudah yang kesekian kalinya aku melihat sikap beliau seperti ini.
“Mamak hanya ingin kau tak berlama-lama sendiri. Ingat usiamu yang sudah hampir
kepala tiga. Secepatnya Mamak akan siapkan pernikahanmu.”
“Aku
bukannya ingin berlama-lama sendiri…” Aku berkata lirih hampir tak terdengar.
Aku
hendak berlalu, namun langkahku terhenti saat mamak membentakku. “Kalau tidak
ingin berlama-lama sendiri, lalu kenapa tidak segera?!” Mamak memekik, mata nya
melotot. Baru kali ini Mamak membentak dengan kasar kepada ku. “Sudah berapa
kali kamu menolak lamaran orang lain Sar?” Nada suara Mamak menurun, terdengar
lirih dan parau.
Aku
berbalik arah dan segera memeluk Mamak yang sudah meneteskan air mata. “Tolong
batalkan kedatangan Mas Wicak dengan pemuda itu Mak.” Aku menghela napas
sejenak. “Sebenarnya Sari menyukai salah satu pemuda di kampung ini.”
“Siapa?”
Mamak menyeka air matanya dan lekas menatapku.
Dia
adalah lelaki yang selalu aku perhatikan di waktu shubuh. Aku mengenalnya saat
Mamak mengajakku berkunjung ke rumahnya. Saat itu ibunya sedang sakit keras.
Mamak ku menjenguk ibunya karena beliau adalah teman Mamak ku sewaktu kecil.
Aku
hampir terkikik saat pertama kali mendengar namanya. “Laksa” adalah nama
panggilannya. Bagaimana tidak, setahuku laksa adalah sejenis makanan mi yang
berkuah. Ku kira namanya tak sesuai dengan perangainya yang sangar didukung
oleh rambut gondrong dan tato bergambar abstrak di lengannya. Namun sepertinya
saat itu dia tahu kalau aku sedang menahan tawa akibat mendengar namanya.
Matanya lalu menatap mata ku dengan tajam. Tawa ku pun terhenti saat dia
menjelasakan perihal nama lengkapnya.
“Aku
menyukai pemuda bernama Laksamana Wiratama.” Aku menjawab dengan yakin, namun
tak berani menatap Mamak.
“Apa?!”
Mamak merenggangkan pelukanku dan menatapku nanar. “Jadi selama ini kau
menyukai lelaki pecandu seperti dia?”
Saat
pertama kali aku melihat Laksa, tubuhnya memang kurus kering, matanya cekung,
dan penampilannya tak jauh berbeda dengan preman. Dari awal aku sudah menyangka
kalau dia adalah “pemakai”. Keesokan harinya selepas shubuh, ternyata dugaanku terbukti.
Di lorong pasar yang gelap, aku tak sengaja melihat Laksa sedang menyuntikkan
jarum suntik di lengannya.
“Tapi
itu dulu Mak, sekarang dia bukan pemakai lagi.” Aku membantah Mamak sambil
merengek agar beliau yakin kepada ku.
“Darimana
kau tahu kalau dia bukan pemakai lagi?” Mamak mengernyitkan dahi, menunjukkan
air muka penasaran.
“Semua
terjawab saat aku melihat dia selalu berjalan ke surau untuk shalat shubuh
berjamaah.” Aku kembali mendekap Mamak.
“Hanya
karena itukah?”
“Aku
kira cukup itu saja Mak. Aku yakin arah langkahnya kini bukan lagi menuju
lorong-lorong pasar untuk memakai barang haram itu.”
Aku
tak pernah sama sekali bertegur sapa dengannya pasca berkenalan di rumahnya
kala itu. Tetapi aku selalu memperhatikannya di waktu shubuh. Sudah satu tahun
terakhir ini dia tak terlihat lagi di lorong pasar. Kini langkahnya terlihat
jelas, di bawah lampu jalan yang temaram dia langkahkan kakinya menuju
rumah-Nya.
“Lalu
apa kata orang nanti?”
“Pedulikah
kata orang? Ini perkara kebahagiaanku Mak, bukan kebahagiaan orang lain.”
“…”.
Hening. Mamak terdiam tak memberi jawaban.
Lalu
beliau menghamburkan tubuhnya ke tubuhku, memelukku erat sambil berbisik “Kebahagiaanmu
adalah kebahagiaan Mamak juga nak.”
(Bandar Lampung, 21 September 2016)