Sunday 5 March 2017

Waktu Shubuh


Di pagi yang ke sekian kalinya, aku melihat langkah seorang pemuda menapaki jalan berbatu. Sepasang sandal jepit berwarna biru menghiasi langkahnya yang pasti.  Pandangannya menatap fokus ke arah tujuannya. Di balik jendela ruang tamu ini, dia tak akan tahu kalau sebenarnya aku selalu memperhatikan langkahnya yang hendak menuju surau untuk melaksanakan shalat shubuh berjamaah.
“Sari, selepas shalat shubuh segeralah pergi ke pasar.” Mamak mengagetkan ku dari belakang. Sepertinya aku ketahuan sedang mengintip seseorang dari balik jendela.
“I’ya Mak.” Aku menjawab singkat. Kegugupan pasti terlihat dari raut wajah ku.
“Tadi malam Mamak mendapat kabar kalau Mamas mu Wicak akan datang hari ini.” Untungnya Mamak tak membahas perihal siapa yang sedang aku perhatikan di luar sana.
“Mas Wicak? Tumben sekali dia datang di awal ramadhan seperti ini.” Aku senang sekaligus kaget mendengar kabar kalau kakak ku akan datang secepat ini. Anak-anaknya pasti sudah tumbuh besar. Aku sudah membayangkan bagaimana ramai nya rumah ini kalau ketiga anak kembarnya berlari-larian, bertengkar, dan menangis. Ah, aku rindu sekali dengan Mas Wicak. Sudah setahun aku tidak bertemu dengannya. Aku yakin lemak di perut dan lengannya sudah menebal seperti om-om. Mbak Kinan, istrinya juga pasti semakin cantik.
“Tetapi dia tidak datang sendiri.” Mamak memalingkan tatapannya ke arah jendela. Air mukanya tak dapat aku baca.
“Bukannya Mas Wicak tak pernah datang sendiri?” Aku mengernyitkan dahi. “Dia datang bersama anak dan istrinya kan?”
“Tidak, dia datang bersama pemuda dari sana.” Mamak tak berkedip dan tangannya mengepal. Ini sudah yang kesekian kalinya aku melihat sikap beliau seperti ini. “Mamak hanya ingin kau tak berlama-lama sendiri. Ingat usiamu yang sudah hampir kepala tiga. Secepatnya Mamak akan siapkan pernikahanmu.”
“Aku bukannya ingin berlama-lama sendiri…” Aku berkata lirih hampir tak terdengar.
Aku hendak berlalu, namun langkahku terhenti saat mamak membentakku. “Kalau tidak ingin berlama-lama sendiri, lalu kenapa tidak segera?!” Mamak memekik, mata nya melotot. Baru kali ini Mamak membentak dengan kasar kepada ku. “Sudah berapa kali kamu menolak lamaran orang lain Sar?” Nada suara Mamak menurun, terdengar lirih dan parau.
Aku berbalik arah dan segera memeluk Mamak yang sudah meneteskan air mata. “Tolong batalkan kedatangan Mas Wicak dengan pemuda itu Mak.” Aku menghela napas sejenak. “Sebenarnya Sari menyukai salah satu pemuda di kampung ini.”
“Siapa?” Mamak menyeka air matanya dan lekas menatapku.
Dia adalah lelaki yang selalu aku perhatikan di waktu shubuh. Aku mengenalnya saat Mamak mengajakku berkunjung ke rumahnya. Saat itu ibunya sedang sakit keras. Mamak ku menjenguk ibunya karena beliau adalah teman Mamak ku sewaktu kecil.
Aku hampir terkikik saat pertama kali mendengar namanya. “Laksa” adalah nama panggilannya. Bagaimana tidak, setahuku laksa adalah sejenis makanan mi yang berkuah. Ku kira namanya tak sesuai dengan perangainya yang sangar didukung oleh rambut gondrong dan tato bergambar abstrak di lengannya. Namun sepertinya saat itu dia tahu kalau aku sedang menahan tawa akibat mendengar namanya. Matanya lalu menatap mata ku dengan tajam. Tawa ku pun terhenti saat dia menjelasakan perihal nama lengkapnya.
“Aku menyukai pemuda bernama Laksamana Wiratama.” Aku menjawab dengan yakin, namun tak berani menatap Mamak.
“Apa?!” Mamak merenggangkan pelukanku dan menatapku nanar. “Jadi selama ini kau menyukai lelaki pecandu seperti dia?”
Saat pertama kali aku melihat Laksa, tubuhnya memang kurus kering, matanya cekung, dan penampilannya tak jauh berbeda dengan preman. Dari awal aku sudah menyangka kalau dia adalah “pemakai”. Keesokan harinya selepas shubuh, ternyata dugaanku terbukti. Di lorong pasar yang gelap, aku tak sengaja melihat Laksa sedang menyuntikkan jarum suntik di lengannya. 
“Tapi itu dulu Mak, sekarang dia bukan pemakai lagi.” Aku membantah Mamak sambil merengek agar beliau yakin kepada ku.
“Darimana kau tahu kalau dia bukan pemakai lagi?” Mamak mengernyitkan dahi, menunjukkan air muka penasaran. 
“Semua terjawab saat aku melihat dia selalu berjalan ke surau untuk shalat shubuh berjamaah.” Aku kembali mendekap Mamak.
            “Hanya karena itukah?”
            “Aku kira cukup itu saja Mak. Aku yakin arah langkahnya kini bukan lagi menuju lorong-lorong pasar untuk memakai barang haram itu.”
Aku tak pernah sama sekali bertegur sapa dengannya pasca berkenalan di rumahnya kala itu. Tetapi aku selalu memperhatikannya di waktu shubuh. Sudah satu tahun terakhir ini dia tak terlihat lagi di lorong pasar. Kini langkahnya terlihat jelas, di bawah lampu jalan yang temaram dia langkahkan kakinya menuju rumah-Nya.
“Lalu apa kata orang nanti?”
“Pedulikah kata orang? Ini perkara kebahagiaanku Mak, bukan kebahagiaan orang lain.”
“…”. Hening. Mamak terdiam tak memberi jawaban.
Lalu beliau menghamburkan tubuhnya ke tubuhku, memelukku erat sambil berbisik “Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan Mamak juga nak.”


(Bandar Lampung, 21 September 2016)

0 komentar:

Post a Comment