Saturday 4 June 2016

LONG JOURNEY (Bagian tiga: Malam di Jogja)


Perjalanan yang panjang membuat ketiga sahabat itu tertidur lelap di sandaran kursi kereta api. Memang tak sampai berhari-hari di perjalanan, namun 10 jam 30 menit adalah waktu yang cukup lama bagi mereka yang tak sabar sampai ke tempat tujuan. Setelah melewati beberapa kota dengan beberapa cuaca berbeda-kadang panas, mendung, gerimis, bahkan hujan lebat-akhirnya mereka sampai di stasiun Tugu Jogja.
Ketiga sahabat itu melepas kantuknya dengan pandangan yang menyapu seisi stasiun Tugu Jogja. Begitu turun dari kereta, mereka melihat pintu besar berwarna coklat serta langit-langit yang tinggi. Pesona bangunan stasiun itu masih dipertahankan keasliannya-karena dibangun pada masa kolonial Belanda, maka arsitektur bangunannya sangat kental dengan nuansa Eropa. Tak hanya melihat bangunan tua yang megah, mereka juga melihat derek tua yang disinari lampu-lampu temaram menjadikan pemandangan di stasiun utama kota gudeg itu semakin apik.
Malam itu, mereka langsung menuju angkringan di sekitar stasiun. Kelihatannya mereka sudah kehabisan energi saat tidur selama perjalanan. Di angkringan itu menyediakan menu makanan seperti nasi kucing, gorengan, sate usus, sate telur puyuh, dan minuman seperti teh hangat serta wedang jahe. Mereka bertiga memesan nasi kucing dan teh hangat. Tak sampai lima menit, mereka telah menghabiskan hidangannya.
“Aku masih laper nih kayaknya,” tukas Bintang setelah meneguk habis teh hangatnya.
“Gila, udah makan sebanyak ini kamu masih laper?” Ara menujuk-nunjuk piring yang ada di hadapan Bintang.
“Aku juga masih pengin ngemil nih,” lanjut Karin sambil mengaduk-aduk teh hangat nya yang tinggal sepertiga.
“Ya ampun kalian ini, badan mini tapi kalau makan banyak juga ya.” Ara tak habis pikir dengan mereka berdua.
Di antara mereka bertiga, memang hanya Ara yang memiliki tubuh tinggi dan cukup berisi, sedangkan Bintang dan Karin memiliki tubuh ramping dan tinggi badan yang hanya 155 cm. Mungkin itulah sebabnya Ara sudah laku terlebih dahulu ketimbang Bintang dan Karin.
“Terus, kalian mau nambah lagi?” lanjut Ara.
“Enggak lah, gimana kalau setelah ini kita jalan-jalan cari cemilan?” Bintang menerangkan ide nya.
“Hah? Kamu memang nggak capek? Kita cari tempat penginapan dulu lah, udah malam nih.” Ara menolak halus, kelihatannya ia sudah lelah dengan perjalanan hari itu.
“Hm, kan kita bisa menyelam sambil minum air.” Karin mencuri pandang ke arah Bintang, menampakkan air muka yang kompak untuk merayu Ara.
“Maksudnya?” Ara kelihatan bingung.
“Yahh, sembari kita mencari tempat penginapan yang nyaman, kita bisa mampir dulu ke toko cemilan.” Karin menjelaskan sambil tangannya menunjuk ke arah toko cemilan yang jaraknya cukup jauh dari tempat angkringan yang mereka datangi.
“Iya kita kesana sebentar ya ra.” Bintang merayu Ara dengan tatapan manja nya yang khas ala anak tunggal yang harus dituruti kemauannya.
“Memang kalian nggak capek bawa-bawa koper sampai ujung jalan sana?” Ara masih menolak dengan cara halusnya. Ia menghela napas sebentar. “Aku bawa cemilan kok, nanti kalian bisa makan cemilan ku dulu.” Ara berharap agar mereka berdua mengabulkan keinginannya.
“Nggak mau, aku mau cemilan khas Jogja. Kita bisa beli di toko yang tadi Karin tunjuk.” Bintang masih saja merengek meminta agar dituruti.
“Nggak bisa!” kelihatannya kesabaran Ara sudah habis.”Kita harus cari penginapan dulu, nanti kita baru cari cemilan.”
Seketika seluruh pengunjung angkringan yang ada disitu terdiam mendengar pekikan Ara, Bintang dan Karin pun terdiam.
Wanita separuh baya pemilik angkringan itu tiba-tiba berkata, “Nduk, rumah di sebelah kanan kalian itu adalah rumah saya. Ada satu kamar kosong disana, kalau bingung cari penginapan, kalian bisa menginap sementara disana. Kalau sudah malam begini, biasanya susah cari hotel-penuh-kecuali kalian sudah pesan terlebih dulu.” Wanita itu sepertinya mendengarkan dengan jelas apa yang sedaritadi diperdebatkan oleh mereka bertiga. Ia menunjuk ke arah rumah tua yang cukup besar.
“Oh begitu ya bu, kalau boleh kami menginap disana satu malam saja. Besok kita akan cari penginapan lain.” Ara segera menanggapi wanita itu. Ia menjelaskan permintaannya tanpa berunding terlebih dahulu dengan Bintang dan Karin. Sedangkan Bintang dan Karin saling menatap dan tersenyum kecut.
“Mari nduk, ibu antar ke kamar.” Wanita itu meninggalkan angkringannya, kemudian berjalan menuju sebuah rumah yang ditunjuk tadi. Ara menggeret kopernya, menyamakan langkah wanita pemilik angkringan yang sudah berjalan mendahuluinya. Sedangkan Bintang dan Karin melangkah ragu di belakangnya.
Saat pintu rumah dibuka, tak ada siapa-siapa disana. Perabotan yang mengisi rumahnya semuanya bernuansa kuno. Wanita itu lalu mengantar mereka ke arah kamar depan. Saat pintu kamar dibuka, terlihat sebuah kasur busa berukuran besar yang terbaring di atas lantai keramik tanpa seprai, disebelahnya terdapat lemari kayu besar, dan di bagian pojok kamar itu terdapat kamar mandi.
“Ini Nduk kamarnya, sempit ya? Tapi semoga bisa menghilangkan lelah ya.” Wanita itu mempersilahkan mereka bertiga masuk. “Oh iya, bantal, seprai, dan guling nya ada di dalam lemari.”
“Terima kasih ya bu. Oh iya nama ibu siapa?” Ara merangkul pundak wanita tua itu yang hendak keluar dari kamar.
“Nama saya Nyimas.” Wanita itu lalu pergi meninggalkan mereka dan kembali menuju angkringannya.
Selepas Bu Nyimas pergi, Karin langsung merebahkan tubuh nya ke kasur yang lumayan empuk itu. Sedangkan Bintang yang sedari tadi hanya bisa tersenyum kecut, akhirnya angkat bicara, “Kamu kok langsung percaya sih sama wanita itu? Kita kan nggak kenal, kamu malah langsung menerima tawarannya.”
“Bu Nyimas itu baik Bin, beliau rela ninggalin angkringannya sebentar, nganterin kita kesini, terus dikasih gratis pula penginapannya. Lagipula kita nggak punya alasan yang tepat untuk menolak.” Ara menjelaskan seadanya. “Kita itu ibarat ladang. Saat kita jadi ladang kebaikan orang, biarlah orang itu menggarap kita dengan kebaikannya. Perluaslah ladang kita, jangan dipersempit. Lagipula kita nggak rugi-kita dapat kebaikannya, orang itu menuai hasilnya.” Ara melanjutkan.
“Lihat nih, lemari nya aja tua banget, bau kapur barus lagi. Memang kamu nggak takut apa kalau wanita itu….”
“Husssh! Ngomong apaan sih Bin. Udah ah, aku mau tidur.” Ara lalu ikut merebahkan tubuhnya di samping Karin yang sudah tertidur pulas.

“Eh eh jangan tidur dulu.” Bintang menggoyang-goyangkan tubuh Ara dan Karin. “Katanya kalau udah dapet tempat penginpan mau cari camilan?” Tetapi mereka tak juga membuka mata nya, alhasil Bintang juga ikut memejamkan mata di sebelah Ara. 

2 komentar:

Unknown said...

Keren pesannya dut ������ paragraf 29.����

Dea Lanidya Silvia said...

hehe makasih ya. kamu ngitungin paragrafnya tah dul?

Post a Comment