Perjalanan yang panjang membuat ketiga sahabat itu tertidur lelap di sandaran kursi kereta api. Memang tak sampai berhari-hari di perjalanan, namun 10 jam 30 menit adalah waktu yang cukup lama bagi mereka yang tak sabar sampai ke tempat tujuan. Setelah melewati beberapa kota dengan beberapa cuaca berbeda-kadang panas, mendung, gerimis, bahkan hujan lebat-akhirnya mereka sampai di stasiun Tugu Jogja.
Ketiga
sahabat itu melepas kantuknya dengan pandangan yang menyapu seisi stasiun Tugu
Jogja. Begitu turun dari kereta, mereka melihat pintu besar berwarna coklat
serta langit-langit yang tinggi. Pesona bangunan stasiun itu masih
dipertahankan keasliannya-karena dibangun pada masa kolonial Belanda, maka
arsitektur bangunannya sangat kental dengan nuansa Eropa. Tak hanya melihat bangunan
tua yang megah, mereka juga melihat derek tua yang disinari lampu-lampu temaram
menjadikan pemandangan di stasiun utama kota gudeg itu semakin apik.
Malam
itu, mereka langsung menuju angkringan di sekitar stasiun. Kelihatannya mereka
sudah kehabisan energi saat tidur selama perjalanan. Di angkringan itu menyediakan
menu makanan seperti nasi kucing, gorengan, sate usus, sate telur puyuh, dan
minuman seperti teh hangat serta wedang jahe. Mereka bertiga memesan nasi
kucing dan teh hangat. Tak sampai lima menit, mereka telah menghabiskan
hidangannya.
“Aku
masih laper nih kayaknya,” tukas Bintang setelah meneguk habis teh hangatnya.
“Gila,
udah makan sebanyak ini kamu masih laper?” Ara menujuk-nunjuk piring yang ada di
hadapan Bintang.
“Aku
juga masih pengin ngemil nih,” lanjut Karin sambil mengaduk-aduk teh hangat nya
yang tinggal sepertiga.
“Ya
ampun kalian ini, badan mini tapi kalau makan banyak juga ya.” Ara tak habis
pikir dengan mereka berdua.
Di
antara mereka bertiga, memang hanya Ara yang memiliki tubuh tinggi dan cukup berisi,
sedangkan Bintang dan Karin memiliki tubuh ramping dan tinggi badan yang hanya
155 cm. Mungkin itulah sebabnya Ara sudah laku terlebih dahulu ketimbang Bintang
dan Karin.
“Terus,
kalian mau nambah lagi?” lanjut Ara.
“Enggak
lah, gimana kalau setelah ini kita jalan-jalan cari cemilan?” Bintang
menerangkan ide nya.
“Hah?
Kamu memang nggak capek? Kita cari tempat penginapan dulu lah, udah malam nih.”
Ara menolak halus, kelihatannya ia sudah lelah dengan perjalanan hari itu.
“Hm,
kan kita bisa menyelam sambil minum air.” Karin mencuri pandang ke arah Bintang,
menampakkan air muka yang kompak untuk merayu Ara.
“Maksudnya?”
Ara kelihatan bingung.
“Yahh,
sembari kita mencari tempat penginapan yang nyaman, kita bisa mampir dulu ke
toko cemilan.” Karin menjelaskan sambil tangannya menunjuk ke arah toko cemilan
yang jaraknya cukup jauh dari tempat angkringan yang mereka datangi.
“Iya
kita kesana sebentar ya ra.” Bintang merayu Ara dengan tatapan manja nya yang
khas ala anak tunggal yang harus dituruti kemauannya.
“Memang
kalian nggak capek bawa-bawa koper sampai ujung jalan sana?” Ara masih menolak
dengan cara halusnya. Ia menghela napas sebentar. “Aku bawa cemilan kok, nanti
kalian bisa makan cemilan ku dulu.” Ara berharap agar mereka berdua mengabulkan
keinginannya.
“Nggak
mau, aku mau cemilan khas Jogja. Kita bisa beli di toko yang tadi Karin
tunjuk.” Bintang masih saja merengek meminta agar dituruti.
“Nggak
bisa!” kelihatannya kesabaran Ara sudah habis.”Kita harus cari penginapan dulu,
nanti kita baru cari cemilan.”
Seketika
seluruh pengunjung angkringan yang ada disitu terdiam mendengar pekikan Ara, Bintang
dan Karin pun terdiam.
Wanita
separuh baya pemilik angkringan itu tiba-tiba berkata, “Nduk, rumah di sebelah
kanan kalian itu adalah rumah saya. Ada satu kamar kosong disana, kalau bingung
cari penginapan, kalian bisa menginap sementara disana. Kalau sudah malam
begini, biasanya susah cari hotel-penuh-kecuali kalian sudah pesan terlebih
dulu.” Wanita itu sepertinya mendengarkan dengan jelas apa yang sedaritadi diperdebatkan
oleh mereka bertiga. Ia menunjuk ke arah rumah tua yang cukup besar.
“Oh
begitu ya bu, kalau boleh kami menginap disana satu malam saja. Besok kita akan
cari penginapan lain.” Ara segera menanggapi wanita itu. Ia menjelaskan
permintaannya tanpa berunding terlebih dahulu dengan Bintang dan Karin.
Sedangkan Bintang dan Karin saling menatap dan tersenyum kecut.
“Mari
nduk, ibu antar ke kamar.” Wanita itu meninggalkan angkringannya, kemudian berjalan
menuju sebuah rumah yang ditunjuk tadi. Ara menggeret kopernya, menyamakan
langkah wanita pemilik angkringan yang sudah berjalan mendahuluinya. Sedangkan Bintang
dan Karin melangkah ragu di belakangnya.
Saat
pintu rumah dibuka, tak ada siapa-siapa disana. Perabotan yang mengisi rumahnya
semuanya bernuansa kuno. Wanita itu lalu mengantar mereka ke arah kamar depan. Saat
pintu kamar dibuka, terlihat sebuah kasur busa berukuran besar yang terbaring
di atas lantai keramik tanpa seprai, disebelahnya terdapat lemari kayu besar,
dan di bagian pojok kamar itu terdapat kamar mandi.
“Ini
Nduk kamarnya, sempit ya? Tapi semoga bisa menghilangkan lelah ya.” Wanita itu
mempersilahkan mereka bertiga masuk. “Oh iya, bantal, seprai, dan guling nya
ada di dalam lemari.”
“Terima
kasih ya bu. Oh iya nama ibu siapa?” Ara merangkul pundak wanita tua itu yang
hendak keluar dari kamar.
“Nama
saya Nyimas.” Wanita itu lalu pergi meninggalkan mereka dan kembali menuju
angkringannya.
Selepas
Bu Nyimas pergi, Karin langsung merebahkan tubuh nya ke kasur yang lumayan
empuk itu. Sedangkan Bintang yang sedari tadi hanya bisa tersenyum kecut,
akhirnya angkat bicara, “Kamu kok langsung percaya sih sama wanita itu? Kita
kan nggak kenal, kamu malah langsung menerima tawarannya.”
“Bu
Nyimas itu baik Bin, beliau rela ninggalin angkringannya sebentar, nganterin
kita kesini, terus dikasih gratis pula penginapannya. Lagipula kita nggak punya
alasan yang tepat untuk menolak.” Ara menjelaskan seadanya. “Kita itu ibarat
ladang. Saat kita jadi ladang kebaikan orang, biarlah orang itu menggarap kita
dengan kebaikannya. Perluaslah ladang kita, jangan dipersempit. Lagipula kita
nggak rugi-kita dapat kebaikannya, orang itu menuai hasilnya.” Ara melanjutkan.
“Lihat
nih, lemari nya aja tua banget, bau kapur barus lagi. Memang kamu nggak takut
apa kalau wanita itu….”
“Husssh!
Ngomong apaan sih Bin. Udah ah, aku mau tidur.” Ara lalu ikut merebahkan
tubuhnya di samping Karin yang sudah tertidur pulas.
“Eh
eh jangan tidur dulu.” Bintang menggoyang-goyangkan tubuh Ara dan Karin. “Katanya
kalau udah dapet tempat penginpan mau cari camilan?” Tetapi mereka tak juga
membuka mata nya, alhasil Bintang juga ikut memejamkan mata di sebelah Ara.
2 komentar:
Keren pesannya dut ������ paragraf 29.����
hehe makasih ya. kamu ngitungin paragrafnya tah dul?
Post a Comment